Buffalo Boys (2018): Dendam dan Menegakkan Keadilan Yang Berbeda Tipis.
Directed by Mike Wiulan
Dendam, adalah berkeingan keras untuk membalas karena rasa marah atau
benci. Setidaknya itulah motivasi awal Arana (Tio Pakusadewo) ketika membawa 2 keponakannya
kembali ke tanah pertiwi. Dia membawa dendam kepada kompeni penjajah bernama
Van Trach (Reinout Bussemaker) yang telah membunuh keluarga Arana, termasuk
Sultan Hamzah (Mike Lucock), kakaknya sekaligus ayah bagi kedua keponakannya.
Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) yang sudah lama hidup dalam
perjuangan di dunia koboi Amerika harus cepat beradaptasi dengan kehidupan
kolinial Belanda yang menjajah Indonesia, atas saran pamannya Arana.
Perjalanan pulang kampung menghantarkan mereka ke sebuah desa yang sudah
dikuasai oleh kolonial Belanda. Para penduduk diminta menanam opium alih alih
menanam padi karena opium lebih menjual dan menguntungkan. Padahal yang lebih
dibutuhkan penduduk desa tersebut adalah padi sebagai sumber pangan utama mereka.
Kolonial Belanda tidak peduli dengan kesengsaraan penduduk desa dan tidak
segan-segan menghukum langsung di depan umum bagi mereka yang tidak menuruti.
Hukumannya adalah hukum gantung atau hukuman mati.
Tentu saja hal ini membuat Jamar dan Suwo berang, marah dengan kondisi
tanah pertiwinya dalam kondisi penindasan seperti itu. Tetapi mereka selalu
ingat pesan pamannya, untuk tidak mencolok dan beradaptasi, agar tidak ada yang
tau siapa mereka sebenarnya. Di desa inilah mereka bertemu dengan sang bunga desa,
Kiona (Pevita Pearce) anak dari kepala desa tersebut. Kiona sendiri bukanlah
seorang perempuan yang takut akan penindasan kolonial Belanda, dia memiliki
jiwa pejuang yang berbeda dari ayahnya sendiri (Donny Damara) yang lebih tunduk
kepada kolonial Belanda.
Tiba-tiba datanglah para penjajah tersebut ke desa mereka. Kiona khawatir
dengan keberadaan 2 kakak beradik tersebut bersama paman mereka, terlebih
mengingat banyaknya pelanggaran yang dilakukan desa tersebut. Apa yang akan Jamar,
Suwo dan Arana lakukan selanjutnya? Apakah mereka akan menyelamatkan kondisi
desa tersebut? Lalu bagaimana dengan dendam mereka terhadap Van Trach yang
sudah menghancurkan keluarga mereka? Apakah mereka berhasil membalaskan dendam
mereka?
Sejak promosi teaser, poster dan trailer dari film ini dirilis, Buffalo
Boys sudah menawarkan nuansa yang berbeda dari film-film Indonesia kebanyakan.
Mencampur adukan antara cerita fantasi fiktif dan sejarah dengan balutan genre aksi adalah sesuatu hal yang
jarang ditemui dari perfilman Indonesia. Apalagi ketika Mike Wiluan berani
mengangkat sebuah tema Western (Cowboy) kedalam
sebuah film aksi melawan penjajah Indonesia. Sangatlah berani tetapi mampu
dibuat cult dan relevan dengan
kondisi saat itu.
Hasilnya, dari segi visual, setelan produksi dan kostum, tidak salah
apabila film ini memiliki biaya produksi yang sangat bombastis. Belum lagi
beberapa senjata ternyata dibuat khusus untuk film ini, dikarenakan sebagai
kebutuhan beberapa adegan aksi ala koboi. Tidak lupa dari segi bela diri yang
lebih bersifat netral arahan dari ahli bela diri asal Thailand, Tony Jaa memang
disengaja tidak memfokuskan dengan aksi bela diri khas Indonesia, seperti
silat. Film ini mampu menyuguhkan sesuatu yang baru dan berani, jenis film laga,
Satay-Western yang berbeda dari film Satay-Western tahun lalu, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak.
Production Value yang tidak main-main ini memang sudah direncanakan untuk kebuthan
film-film berkelas Internasional dan tentunya bisa diterima secara universal.
“Sangat penting bagi kami untuk menegaskan eksistensi film Indonesia di forum
Internasional, seperti Buffalo Boys sekarang dan Headshot ada tahun 2016 lalu. Dengan sambutan dan apresiasi
penonton internasional yang luar biasa, kami yakin Buffalo Boys tidak sulit diterima penonton film Indonesia. Kami
bergarap penonton suka,” kata Executive Producer Buffalo Boys, Wicky V Olindo.
Menurut Mike Wiluan, kisah dengan latar belakang penjajahan Belanda di
Indonesia ini mengingatkan kita, terutama para Millenials dan Generasi Z,
bagaimana sejarah kita penuh dengan tantangan dan ketidakadilan serta bagaimana
kita sebagai rakyat bisa melawan. Baginya, cerita yang menggabungkan dua kultur
berbeda (East meet West) merupakan
kesempatan yang unik untuk memperkenalkan suatu dunia baru yang penuh dengan
kesempatan untuk cerita-cerita lainnya.
Jika dilihat dari kematangan bagaimana membangun setelan lokasi dan setelan
produksi yang mengagumkan lalu bagaimana dilihat dari kematangan dari segi
naskah dan penokohan? Harus diakui, inilah kelemahan terbesar dari film ini.
Ide cerita sudah memberikan angin penyegaran yang positif mengenai perlawanan
terhadap penjajah di era konialisme Belanda dengan menggabungkan fiksi koboi
yang datang ke Indonesia. Tetapi pengeksekusian mengenai jalan cerita, naskah
yang terkesan memaksa dan pendalaman karakter yang sangat minim, membuat dasar
dari sebuah film ini sangatlah kurang ajeg. Kurang pas dan hanya diberikan ala
kadarnya.
Contohnya adalah penokohan Jamar yang hanya kita ketahui dia adalah
seseorang yang phobia terhadap kalajengking, atau Kiona yang tidak beralasan
kenapa tiba-tiba dia menunggangi kerbau sambil memanah alih-alih menunggangi
kuda. Kiona hanya menjadi pemanis bagi Suwo dan pengantar bagi Suwo dan Jamar
untuk menghadapi kolonial Belanda. Lalu dengan Suwo yang sedikit diberikan
kesempatan untuk memperdalam karakternya, yang ternyata berhati lembut demi
memenangkan hati Kiona, tetapi juga mengakui sering diremehkan oleh abang dan
pamannya, bahkan masih sering dianggap kurang ‘Pria’ bagi mereka. Tampaknya pendalaman
karakter lebih baik tergambarkan dari kisah Buffalo
Boys versi komik yang dapat diakses via aplikasi COMICO.
Ada juga beberapa plot yang tidak cocok dan bisa dianggap plot hole dari kurang dalamnya cerita
yang dibangun. Seperti, apa alasannya mereka harus ke Amerika? Perpindahan
motivasi Arana ke Indonesia setelah bertemu dengan Seruni. Belum lagi ketika
Arana meminta kepada keponakannya untuk membaur dan beradaptasi dengan penduduk
lokal, lalu kenapa mereka masih dengan kostum yang sangat asing bagi penduduk
lokal. Banyaknya kejanggalan membuat film ini jadi terasa begitu lama walaupun
hanya dengan durasi 102 jam. Ditambah lagi beberapa percakapan yang terasa kaku
sekali. Film ini jadi menyianyiakan segala kematangan yang sudah di-setting untuk produksi dan lokasi.
Mike Wiluan seperti tidak belajar dari kesuksesan Headshot, hanya cukup
dengan cerita yang sederhana lalu kental dengan adegan aksi yang brutal dan
membabi buta sudah mampu memuaskan penonton Indonesia. Jika saja kisah film ini
dieksekusi dan diperdalam oleh Mike Wiluan dan tim lebih matang lagi, pasti
kisah ini bisa menjadi sebuah film cult
western dan akan diingat terus
layaknya film Sukiyaki Western Django (2007 - Jepang) atau The Good The Bad & The Weird (2008 –
Korea Selatan).
Seperti halnya ketidakmatangan dari Buffalo
Boys, ketidakmatangan sifat juga menunjukkan ketidakdewasaan perilaku.
Seruni (diperankan baik sekali oleh Happy Salma) memberikan pesan moral yang
mendalam dari kedewasaannya, bahwa perbuatan dendam hanya akan menyengsarakan
kedua belah pihak, jadi memang lebih baik merelakan apa yang sudah terjadi,
tetapi bukan berarti tidak berjuang untuk yang akan datang. Dari pesan tersebut
justru Suwo lah yang lebih menyadari apa makna kedatangan mereka kembali ke
Bumi Pertiwi, yaitu untuk menegakkan keadilan, bukanlah untuk membalas dendam.
Production companies: Bert Pictures, Infinite
Studios, Zhao Wei Films
International sales: XYZ Films, info@xyzfilms.com
Producers: Junxiang Huang, Mike Wiluan, Tan Fong Cheng
Screenplay: Raymond Lee, Mike Wiluan, Rayya Makarim
Production design: Pawas Sawatchaiyamet
Editing: Natalie Soh, Sean Albertson
Cinematography: John Radel
Music: Zeke Khaseli Gumelar, Yudhi Arfani
Main cast: Yoshi Sudarso, Ario Bayu, Pevita Pearce, Tio
Pakusadewo, Reinout Bussemaker, Mikha Tambayong, Happy Salma, Donny Damara, El
Manik.
Rate overall: 6/10
Film ini sudah pernah saya ulas di website Gila Film. Selamat membaca...
Komentar
Posting Komentar