22 Menit (2018): Sebuah Kisah Yang Belum Usai
Directed by Eugene Panji & Myrna Paramita
Pohan
Apa yang
diuntungkan dari aksi terorisme? Menurut Hank Prunckun (2010) 1 yang
diuntungkan tentu saja, aksi teror itu sendiri yang mampu mengdongkrakkan eksistensi
teror dengan publikasi media dan sejenisnya. Selain itu aksi teror selalu
dikaitkan dengan pesan-pesan politik, dan apabila teror tersebut mampu
menakutkan sebagian besar masyarakat, maka pesan politiknya dapat dikatakan tersampaikan,
terlebih lagi-lagi dengan publikasi media.
Bagaimana
cara mencegahnya? Salah satu pencegahan dengan tindakan kotraterosime, dengan metode yang paling populer digunakan adalah metode PPRR (Prevention, Preparation, Response,
dan Recovery)
Planning. Indonesia sebagai
negara yang sudah berkali-kali terkena aksi teror cukup mempunyai pengalaman
dalam penanganan aksi teror terutama dalam prevention,
preparation, dan response. Untuk
fase recovery masih
menjadi pertanyaan dan perlu usaha dan aksi nyata lebih jauh dari pemerintah
bagaimana memulihkan korban aksi terorisme untuk kembali hidup normal.
Hal inilah yang
diangkat dari kisah 22 Menit.
Bagaimana kesigapan dari pihak polisi dalam memberantas terorisme berdasarkan
kisah pengebomam yang terjadi di ibukota tahun 2016 silam. Thamrin adalah saksi
bisu lokasi pengeboman yang dilakukan teroris yang memakan korban 7 nyawa
(termasuk teroris tersebut). Kesigapan polisi dipertaruhkan dalam aksi
pengeboman tersebut dan mereka berhasil menaklukkan teroris hanya dalam waktu
22 menit.
Dikisahkan Bripda
Ardi (Ario Bayu) adalah seorang family-man
yang menyayangi keluarganya tetapi sangat sigap dalam menjalankan tugasnya
di kepolisian. Suatu pagi pada tanggal 14 Januari 2018, Bripda Ardi mendapatkan
informasi mengenai adanya perampokan, tanpa terduga saat melewati daerah
Thamrin, ternyata ada pengeboman di daerah pos polisi dan gerai Kopi dekat
Sarinah. Di pihak lain, seorang office boy suatu perkantoran bernama Anas (Ence
Bagus), hendak membantu kakakknya, Hasan (Fanny Fadilah) untuk bisa bekerja
kembali di daerah perkantoran Thamrin. Anas yang tengah membeli makanan atas
pesanan karyawan di kantornya ternyata terjebak dalam aksi terorisme saat itu.
Lalu dikisahkan pula Firman (Ade Firman Hakim) sebagai polisi lalu lintas sedang
bertugas mengurusi lalu lintas kawasan Thamrin. Hatinya galau karena
permasalahan pacarnya Shinta (Taskya Namya) yang tidak mau diajak komunikasi
selama beberapa hari belakangan. Tanpa disangka Firman pun terjebak dalam aksi
terorisme saat itu. Terakhir ada Dessy (Ardina Rasti) wanita karir yang terkena
tilang di kawasan Thamrin oleh Firman, terpaksa dibawa ke pos polisi untuk
penanganan lebih lanjut. Dan dia pun terjebak dalam aksi terorisme di hari naas
tersebut.
Ya, ada setidaknya 4
penggalan kisah yang terjalin dalam film berdurasi kurang lebih 75 menit ini.
Tokoh-tokoh dalam 4 kisah tersebut bertemu dalam satu muara aksi terorisme di
Thamrin. Ada pesan kemanusiaan dalam kisah-kisah ini, walaupun hanya sekelumit,
tetapi pesan kemanusiaan dari berbagai macam sudut pandang sudah digambarkan
dengan singkat dan padat. Saking padatnya penonton menjadi tidak fokus untuk
memilah kisah yang saling bertabrakan ini. Belum lagi paruh kedua film malah
berganti alur menjadi film aksi kontraterorisme yang sebagian besar dimainkan
oleh Ario Bayu. Ketidak-relevanan dalam bercerita di film 22 Menit ini menjadi salah satu faktor yang melemahkan film. Belum
lagi dari bagian drama di awal film ada beberapa naskah yang cukup kaku,
terutama dari pihak keluarga Bripda Ardi.
Keunggulannya
ternyata ada di aksi 30 menit terakhir yang menegangkan. Penggambaran para
polisi yang responsif menanggulangi terorisme sangatlah heroik. Untuk membekuk
para teroris, polisi tidak tanggung-tanggung, hampir semua sumber daya yang ada
digunakan untuk menaklukan teroris. Penonton pun akhirnya dibuat kembali
percaya bahwa para polisi memang sangat responsif dalam hal ini dan juga tidak
main-main. Pesan yang diambil dari bagian ini mampu membangkitkan argumen untuk
masyarakat bahwa kita tidak boleh takut terhadap teroris.
Duo sutradara Panji dan Myrna
yang bekerja sama dengan penulis naskah Husein M. Atmojo & Gunawan Rahatja memang
bermaksud mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang terkait dengan peristiwa
tersebut. Meski bersumber dari kisah nyata, Panji menegaskan bahwa 22 Menit tidak dimaksudkan sebagai dokumentasi kisah
nyata dari kejadian tersebut. Penegasan dalam memberikan pesan #KamiTidakTakut
adalah inspirasinya untuk membuat film ini.
Sedangkan Ario Bayu mengaku
bahwa kondisi saat syuting film cukup dibuat mencekam, apalagi kalau dia
menjadi saksi yang merasakan peristiwa nyata pada saat itu, pasti akan
benar-benar mengerikan. Dia berharap film 22 Menit bisa menjadi pemantik diskusi untuk
tema-tema terorisme.
Penggabungan unsur
drama dan aksi yang tidak halus sangat terasa, 22 Menit seperti ingin sekali
mengagung-agungkan para kepolisian dalam memberantas teroris, padahal pesan
yang besar dalam film ini adalah #KamiTidakTakut. Akan lebih baik cara
menunjukkan pesan #KamiTidakTakut melalui pendekatan yang lebih manusiawi /
humanis. Peristiwa berakhir dengan singkat, tapi insiden mematikan tersebut
mampu mengubah hidup bagi orang banyak.
Penyelesaian
terakhir untuk me-recover dari kisah
traumatis terorisme tampaknya masih belum menjadi prioritas utama pemerintah.
Begitu juga untuk bagian finishing dari
film 22 Menit yang tampaknya masih
belum matang dan terkesan buru-buru. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi film karena
pesan besar yang diharapkan tidak tersampaikan sehingga menjadi kisah yang
belum usai.
Produser Lexy Mere
Penulis Husein M Atmodjo, Gunawan Raharja
Pemeran Ario
Bayu, Ade Firman Hakim, Ardina Rasti, Mathias Muchus, Khiva Iskak, Fanny
Fadillah, Taskya Namya, Ajeng Kartika, Ence Bagus, Hana Malasan
Musik Andi Rianto
Sinematografi
Aline Jusria (penata gambar), Kelvin Nugroho (penyunting gambar), Geppetto
Animation (efek visual).
Rate overall 6/10
film ini pernah diulas di website Gila Film. Selamat membaca...
Sumber Pustaka:
1 Hank Prunckun, Handbook of
Scientific Methods of Inquiry for Intelligence Analysis, Chapter 11 : Analytic
Techniques for Counterterrorism, page 178-180. 2010.
Komentar
Posting Komentar