PRIDE (2014): Solidarity, It's Our Needs And Pride!

Directed: Matthew Warchus
PEOPLE IS POWER! Apabila ada penuh gabungan kelompok rakyat yang merasa dirugikan, dan dikucilkan oleh pemerintah, hal ini bisa membentuk kekuatan bersama yang solid untuk melawan pemerintah menuntut hak mereka. Pride menggambarkan itu semua, mengenai hak mereka sebagai rakyat yang sudah menjalankan kewajibannya tetapi merasa dirugikan oleh pemerintah. Dua kelompok masyarakat (yang sulit untuk kita anggap dapat bersatu) bekerjasama dan mendukung satu sama lain untuk menuntut hak mereka. 

Margaret Thatcher's reign telah melukai para penambang (buruh tambang) dengan mengancam akan menutup 20 tambang batu bara di seantero Inggris. Para penambang yang sudah dan tergabung dalam National Union of Mineworkers bersama-sama melakukan pemogokan untuk melawan sang wanita baja. Mereka menderita, dan merasa tindakan pemerintah tidak adil akan kondisi mereka.

Hal ini ditimpali positif oleh Mark (Ben Schnetzer), sebagai seorang gay (atau kaum LGBT) yang juga menjadi 'masyarakat kelas dua' pada era 1980an di Inggris. Mark melihat perjuangan mereka (LGBT) akan berjalan sia-sia dan akan tak tampak di media mana pun. Mereka menyuarakan untuk 'persamaan hak' dan untuk tidak mengucilkan kaum LGBT, mengingat di Inggris kaum ini masih dihina dan dianggap 'salah' oleh masyarakat 'normal'. Mark mencari cara, supaya perjuangan mereka efektif dan juga berguna bagi orang lain. Agar orang lain juga tau bahwa LGBT juga bisa berguna dalam banyak hal termasuk membantu yang lemah. 
Lalu terbentuklah Lesbian and Gay Support the Miners (LGSM) sebagai salah satu kelompok sukarelawan LGBT terhadap kaum penambang yang juga dilanda kesulitan. Mereka memiliki 'musuh yang sama' yaitu sang wanita besi yang kejam dan terlalu konsevatifl. Ide gila ini tidak ditanggapai positif bagi sebagian besar LGBT yang ada di London, pemikiran Mark terlalu jauh. Tetapi untungnya ada segelintir yang ikut membantu, mereka adalah Mike (Joseph Gilgun), Gethin (Andrew Scott, notice sebagai Moriarty di tv series, Sherlock), Steph (Faye Marshal, karakter lesbian yang paling keren untuk punch line dan joke yang dikeluarkannya), Jeff (freddie Fox), Reggie (Chris Everton), Ray (Joshua Hill), Jonathan (Dominic West, dengan akting yang sangat pas) dan Bromley (George McKay) anak baru yang masih under age untuk kaum LGBT (usia under age LGBT di film ini yaitu dibawah 21 tahun, sebaiknya kau tidak terlibat dengan hubungan seksual atau datang ke bar LGBT). 

LGSM sangat kesulitan mencari para penambang yang mau disponsori (didonori) oleh para LGBT, hingga akhirnya Gethin mendapat ide untuk menghubungi para penambang yang paling krusial untuk dibantu, yaitu di Welsh. Niat baik akan berujung dengan kebaikan juga, mereka akhirnya bertemu dengan Dai (Paddy Considine), Hefina (Imelda Stuanton), Cliff (Bill Nighy) dkk. Lama-kelamaan mereka bersahabat satu sama lain dan mereka bersama membentuk sebuah peristiwa yang sulit untuk dilupakan pada masa itu. Sebuah solidaritas yang sangat solid dan mampu menggoyahkan pemerintahan Inggris.
Pride adalah sebuah selimut kehangatan dengan cerita yang inspiratif, lucu serta memotivasi untuk berani dan yakin mengenai hal-hal yang kontra diskriminasi dan fanatis. Berdasarkan kisah nyata yang kurang dikenal dunia tetapi sangat mengguncang perekonomian Inggris saat itu. Dua kelompok yang berbeda membentuk ikatan selama pemogokan (1 tahun) tentu bukanlah hal yang mudah, tetapi mereka berusaha untuk saling membantu karena mereka saling membutuhkan dan sama-sama mengerti akan kondisi satu sama lain. Dalam penyatuan 2 kelompok ini banyak adegan dan selipan yang menyenangkan, penuh humor dan komedi yang mengundang tawa dengan gairah - gairah untuk membuat suatu perubahan.

Sebagai dasar cerita yang menyita banyak perhatian tentu saja perjuangan membentuk ikatan antara penambang dengan LGSM yang paling  emosional. Warchus menangani ikatan ini dengan sangat baik, dia menahan diri untuk tidak meluapkan emosi dan drama yang dalam satu atau dua adegan, semuanya bertahap dengan baik. Dan semua cast mengambil peran dengan proporsi yang sangat pas. Hal ini bisa dilihat saat Dai mengucapkan terima kasih atas bantuan dari LGBT melalui LGSM, atau saat Jonathan berdisko 80an di lantai dansa dan menarik perhatian para wanita pertambangan yang membuat iri para pria disana (di Welsh, berdisko dianggap tabu dan merusak citra pria penambang yang 'macho'). Sampai pada adegan yang menguras cukup emosi dengan amarah ketika Hefina dan Siam (Jessica Gunning) baru tau bahwa jadwal pertemuan National Union of Mineworkers di Welsh Dulais dibuat maju, untuk membulatkan tekad menolak bantuan dari LGSM. Tidak lupa subplot yang melibatkan Bromley, yang homoseksualitasnya disembunyikan dari orang tua fanatik menjadi salah satu kunci film. Bromley takut akan kekecewaan dari keluarganya, takut akan cemoohan dan hinaan dari orang tuanya. Belum lagi dengan tambahan permasalahan dunia yang lagi hangat saat itu, AIDS. AIDS juga sangat berhubungan dengan para LGBT dan juga di film ini.
 
Melihat dari pengenalan tokoh sebelumnya, sudah jelas kalau film ini memiliki assemble cast yang sangat banyak. Ajaibnya yang membuat film ini mampu bekerja dengan sangat apik selama hampir dua jam karena perpaduan sempurna antar para cast yang mampu mengisi nyawa film ini menit per menit. Belum lagi kemampuan kamera menangkap gambar yang sinematik dan dramatik tidak hanya dari perpaduan warna, tetapi jugda dari posisi kamera yang hampir selaras setiap adegannya, sehingga sangat aman dan memperlihatkan simbolik / clue-clue yang menarik, tentu saja ada tambahan sinematografi keindahan Welsh yang tiada tara.

Bagaimana dengan musik / soundtrack? Sudah jelas pengaruh musik era 70-80an sangat kental sekali. Disko dan rock n roll disematkan dengan sangat pas, sesuai dengan target audience dari film ini. Mungkin banyak lagu yang kita tidak tau, tetapi jelas sekali kita akan mencari-cari lagu-lagu tersebut setelah mendengarnya. Beberapa hasil karya band atau musisi yang masuk kedalam soundtrack film ini adalah Queen, UB 40, King, Petshop Boys, Wham!, Bananarama dan masih banyak lagi musisi era 80an.
Keunggulan lainnya tentu ada di naskah yang sangat natural. Sang penulis Stephen Beresford adalah penulis pendatang baru di dunia perfilman, tetapi dia mampu membuat film komedi yang segar dan membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal. Hal ini juga didukung dengan sutradara Matthew Warchus yang juga masih tergolong baru dalam menyutradarai film. Pride adalah film ketiga dari Warchus setelah sebelumnya dia dikritik habis-habisan lewat Simpatico (1999). Lalu bagaimana Warchus mampu membuat para cast ini bermain apik? Dikarenakan pengalamannya yang sudah malang melintang dalam dunia teater, inilah kenapa Warchus seakan memberikan fleksibilitas para pemain untuk berkreasi, sehingga banyak para pemain baru dalam film ini berakting sangat natural. Warchus tidak mendikte para pemain, tetapi 'rasa' teatrikal sangat jelas sekali dalam film ini. Beruntungnya duo ini tidak terjebak dalam stereotipe film LGBT yang itu-itu saja.
Ya, itulah keunikan dan keunggulan utama Pride dari semua film LGBT yang pernah ada, bahwa film ini bukan stereotipe film LGBT dan sejenisnya. Film ini tidak mengisahkan sepasang pria (pasangan gay) atau sepasang wanita (pasangan lesbian) yang terjebak dengan masalah romansa asmara mereka dengan kehidupan, baik yang mendukung, atau yang masih menganggap tabu asmara persamaan jenis ini. Walaupun begitu ada persamaan antara Pride dengan film LGBT yang stereotipe, mereka sama-sama membutuhkan sebuah pengakuan dari kaum mayoritas (normal / straight) bahwa mereka juga manusia yang sama-sama memiliki hak selayaknya masyarakat normal. Dalam Pride cara memperoleh pengakuan dan hak-hak tersebut bukan melalui romansa antara dua manusia sejenis yang saling membutuhkan, tetapi dengan cara memberikan suatu kisah kaum minoritas yang memperjuangkan hak mereka dan membuktikan bahwa mereka berguna bagi banyak orang. Bahwa mereka juga membutuhkan kaum mayoritas (normal / straight) dan juga (bahkan) sebaliknya.  Pride juga memberitaukan bahwa setiap orang dapat membuat perbedaan, setiap orang mampu melakukan perubahan. Dan hal inilah yang membuat film ini terasa hangat walaupun kita dibuat tertawa sangat lepas akan kekonyolan dan keunikannya.
Pada akhirnya semua karakter dalam film Pride bangga akan jati diri mereka, baik sebagai gay, lesbian, atau penambang batu bara di pedesaan yang konvensional. Tetapi bukan hanya rasa bangga yang lebih ditujukan, melainkan sebuah kebutuhan untuk diperhatikan, untuk disamakan dan disetarakan bahkan kebutuhan untuk saling membantu dan membentuk solidaritas yang sangat solid.

Have some pride, life is short!

Overall 4,75/5
Saya suka sekali dengan film ini. Terakhir, menonton film yang bisa membuat saya tertawa puas dan lepas sebelum menonton Pride adalah film 22 Jump Street. Premis yang menarik serta identitas film yang unik (bukan sebuah film LGBT yang stereotipe) dengan ditambah kisah solidaritas yang menghangatkan membuat Pride menjadi film LGBT terbaik yang pernah saya tonton.
Film ini telah ditayangkan di Europe on Screen
schedule
03 May19:30IFI THAMRIN
06 May16:30UNPAD - Jatinangor
06 May19:30EH

Dan telah meraih:
festival & awards
WonBest FilmBritish Independent Film 2014
NomineeBest Picture (Comedy/Musical)Golden Globes 2015

Komentar

Postingan Populer