Testament of Youth (2014, Indonesia 2015) : Perang itu Selalu Salah, Benarkah?

Directed: James Kent

Film bertemakan perang memang seperti pedang bermata dua, disatu pihak perang memang harus terjadi bilamana memang berurusan dengan hak asasi manusia yang terampaskan dari penjajahan, melindungi yang lemah atau orang yang kita cintai. Tetapi ada beberapa yang berpendapat bahwa perang itu membawa bencana, yang menghancurkan semua kisah personal dan justru menganggap manfaat-manfaat perang tidak sebanding dengan pengorbanan yang sudah diambil perang.

Vera Brittain adalah gadis yang tau bagaimana dia akan menentukan masa depannya. Dia sudah bertekad bulat akan melanjutkan sekolah di Oxford mengikuti suadara laki-lakinya Edward (Taron Edgerton). Dia bahkan bertekad untuk menjadi penulis dan tidak ingin menikah muda seperti gadis lainnya. Bahkan kalau dipaksa, dia tidak akan menikah. Tetapi, Vera harus menelan ludahnya sendiri, ketika dia bertemu dengan Roland (Kit Harrington). Pria tampan yang tau bagaimana cara berhadapan dengan sikap Vera dan memiliki persamaan dalam hal intelektualitas. Vera akhirnya bisa menjalani hidupnya sesuai keinginannya, dia diijinkan bersekolah di Oxford dan Roland akhirnya resmi menjadi kekasihnya. Hanya saja semua kebahagiaan itu berjalan sangat singkat ketika perang merenggut semua kebahagiannya. 
Ada banyak adegan dan momen yang melukiskan kengerian perang, bukan perang yang diperlihatkan, tetapi orang-orang disekitar perang. Bagaimana mereka merasakan kesedihan yang mendalam dari orang-orang yang ditinggalnya. Bagaimana para orang tua yang harus merelakan kematian anak laki-lakinya. Bagaimana para perawat yang harus mati-matian merawat baik secara fisik maupun mental dari para korban perang. Vera yang ditinggalkan oleh Roland, Edward dan sahabatnya Victor (Colin Morgan) yang maju ke medan perang merasa kesepian dan hampa, untuk apa dia bersekolah ketika banyak orang-orang yang dicintainya harus berperang. Vera pun merasa harus ikut andil dan membantu, dia secara sukarela menjadi perawat korban perang.
Percakapan-percakapan yang menggerutu dalam keheningan canggung dapat dilukiskan dengan baik, apalagi ditambah dengan sinematografi indah Inggris pedesaan yang terasa sangat berbeda. Ketika Roland pulang cuti dari perang untuk sementara, dia tersiksa oleh kebrutalan kehidupan perang yang menggerogoti jiwanya. Dia memperlihatkan wajah berani dan bersahabat kepada teman-temannya (Edward dan Victor), tetapi hampir tidak dapat melihat Vera langsung di mata. Sangat tersiksa jika mengingat keindahan yang dia dambakan harus kembali untuk ditinggalkan dengan masa depan yang masih semu. Itulah penggambaran begitu tersiksanya orang-orang yang pulang dari perang, begitu juga tersiksanya menanti kebahagiaan orang-orang yang ditinggalkan untuk berperang.

James Kent untungnya membuat film ini tanpa membuat sebuah kisah melodrama yang terlalu dramatis. Sebagai sutradara yang baru berkecimpung di film layar lebar. Kent mampu membagi-bagi porsi sehingga semua selaras tanpa ada yang tertinggal. James Kent memang kurang familiar di dunia perfilman, tetapi dia sudah banyak berpengalaman di televisi, sehingga walaupun baru di layar lebar, tetapi sudah piawai dalam menghasilkan karya film yang apik.

Alicia Vikander, bukanlah aktris dari Inggris. Dia adalah gadis dari Swedia yang menggairahkan Mads Miekkelsen di "A Royal Affair" dan menjadi android (A.I.) dalam film terbarunya Ex Machina. Alicia tau bagaimana caranya beraksen british tanpa menunjukkan cela dan dia juga tau bagaimana caranya menjadi gadis Inggris di masa perang dunia pertama yang memiliki pemikiran maju dibandingkan dengan gadis Inggris lainnya di masa itu. Memang, fokus utama dalam film ini adalah karakter Vera Brittain yang menulis buku Testament of Youth, sehingga 3 laki-laki dalam kehidupan Vera pada masa perang dunia pertama hanya sebagai pendamping saja. Walaupun begitu, Taron Edgerton dan Colin Morgan mampu menarik perhatian di setiap scene-nya. Taron terhitung aktor baru dalam dunia layar lebar (dia lebih dahulu syuting Testament of Youth baru kemudian syuting Kingsman: Secret Service) tetapi sudah menunjukkan kebintangannya. Sedangkan Colin, memang harus diberikan kesempatan lebih lagi, dia bermain cukup memberikan kesan iba sebagai seseorang dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Sebelumnya Colin berperan apik sebagai Merlin dalam serial Merlin, dan tentu menjadi daya jual dia untuk kedepannya.
 
Dari segi tata suara, tidak ada yang mencolok atau kekurangan, sebagai sutradara James Kent tau mengarahkan Max Ritcher untuk tidak terlalu menonjol, karena kekuatan akting lah yang ingin ditonjolkan. Tetapi justru hal itu yang membuat film ini mampu mengalir tanpa ada desakkan emosi yang terlalu dramatis. Dari sinematografi, mengingat set lokasi dan waktu pada masa perang dunia pertama di daerah Eropa Utara, film ini memiliki keindahan yang mutlak, bahkan kehidupan hiruk pikuk London pun bisa digambarkan dengan baik.
Bisa dikatakan kalau Testament of Youth ini hanya menceritakan sebagian besar dari memoir Vera Brittain. Karena di film ini tidak terlalu banyak menceritakan kisah perjuangan Vera Brittain menjadi aktifis pasifis yang begitu vocal bersama tunangan dan akhirnya menjadi suaminya George Catlin. Tapi setidaknya bagi mereka yang mencintai kedamaian, mereka yang beranggapan bahwa perang (dalam bentuk apapun) itu membawa lebih banyak musibah, film ini mampu mendorong penonton bahwa perang itu sangat salah. Yah, itulah salah satu kesalahan dari film ini, film ini seakan memberitaukan (bahkan sedikit menggurui) mulai dari awal Edward ingin menjadi sukarelawan perang sampai Vera memulai menjadi pasifis yang aktif, bahwa perang itu salah. Tidak ada pihak baik dan jahat, yang salah adalah perang.

Aktifis pasifis berkeyakinan kalau tindakan anti kekerasanlah yang paling benar. Perang akan selalu membawa musibah, bahwa setiap manusia mampu memiliki pendapat yang sama tanpa melalui perang. Tetapi bagaimana kalau kau dihadapkan dengan penjajah, atau mereka yang menghina kepercayaan dan ideologi kita, atau mereka yang berusaha melukai orang-orang yang kau sayangi, apakah hanya dengan berteriak anti kekerasan dapat menyelesaikan masalah? Apakah mampu melawan teroris hanya dengan seruan pasifis? Lalu apa fungsi Polisi, dan kemiliteran yang sudah dibentuk di setiap negara?

Dalam film ini jadi mengingatkan saya akan percakapan antara Aydin, Necla dan Nihal dalam Winter Sleep. Necla memiliki pemikiran pasifis bahwa ketika ada orang yang ingin berbuat jahat kepadamu maka jangan dibalas dengan kekerasan, tetapi pasrah dan biarkan hal itu terjadi. Necla juga menerangkan menjadi pasifis adalah salah satu hal yang akan hakiki untuk perdamaian antar manusia di dunia pada kedepannya.

Sampai sekarang pemikiran ini masih sangat dipertanyakan, benarkah dunia akan damai apabila tanpa kekerasan? Terlepas dari itu semua, film ini jelas mampu menggambarkan kesedihan, rasa cemas dan marah terhadap perang. Bahkan bagi mereka yang menyukai film laga atau film perang, film ini mampu menggiring bahwa perang itu yang salah. Tetapi pada akhirnya, ketika film ini usai, semua akan kembali ke hati mereka masing-masing. Benarkah perang itu selalu salah?

Overall 3,5/5

Film ini bisa dibuat lebih baik lagi kalau tidak hanya melihat dari satu sisi, terlalu banyak simbol anti kekerasan / pasifis yang mendorong penonton untuk membenci perang. Selain itu film ini masih bermain aman, emosi yang dikeluarkan hanya berupa kisah perang. Saya tidak merasa sedih ketika Vera ditinggalkan oleh Roland, bahkan oleh saudaranya sendiri Edward. 

Komentar

Postingan Populer